Senin, 14 Desember 2009

Tiap aku berada di Jogja,kota dengan seribu inspirasi,selalu saja ada hal yang menggoda di hati. Menusuk-nusuk mencoba untuk sampai pada relung terdalam yang kemudian akan memerintahkan otakku utuk bertindak. Ia selalu muncul,atas nama angan-angan,atas nama mimpi-mimpi,atas nama cita-cita. Ia selalu hadir tatkala aku termenung, merenungkan masa kini, hari ini di tempat-yang sebetulnya ketika aku mau bersyukur-tak kalah.

Ya..malam ini aku baru balik dari Jogja.
Sekarang sudah di Malang, dan besok siap bertarung lagi dengan kertas dan penaku.
Hal-hal yang selalu menodongku itu,dengan (mudah-mudahan) kuikhlaskan untuk sejenak kutanggalkan, dan mencoba bersyukur (sesyukur mungkin) dengan tempatku sekarang, dan apa yang telah kuraih di tempat ini,hari-hari ini.

Tuhan.,redamlah hatiku untuk (lagi-lagi) memberontak, dengan argumen-argumen yang mungkin bakal membuatku dicibir orang.

Tuhan,.bimbinglah hatiku untuk selalu bersujud dan bersyukur atas nikmat mu.

Tuhan,.kabulkan lah, sekiranya itu baik untukku, aku akan menghirup udaranya dan mengukir karsa di atas tanahnya.

Tuhan,.kuatkan lah aku disini..dan lengkapilah aku dengan torehan-torehan sejarah, yang akan membuktikan bahwa aku mampu, aku punya kekuatan,potensi,keluarbiasaan.

Tuhan,.Engkau Maha Mengetahui mana yang baik dan buruk bagi hambamu ini.

Jogja..
Aku di Malang..
Dan siap menggores kenangan disini,di tempat indah ini.
Pun juga aku akan segera menggarap diriku ditempatmu itu.

Aku percaya pada-Mu.,Tuhan..!!

Sabtu, 10 Oktober 2009

REZIM-REZIM PENCITRAAN : Dari Kontra Revolusi, Subversif ke Terorisme

“Revolusi adalah harga mati..Kontra Revolusi, adalah pengkhianatan terhadap perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia
oooooOOOOooooo
Menentang pemerintah adalah subversif, siapa yang membangkang, tunggulah, ia akan mati terbujur di Nusakambangan.”
oooooOOOOooooo
Al-Qaidah, Jamaah Islamiah, Dr.Azhari, Noordin M.Top dan jaringan-jaringannya adalah teroris yang mengancam kedaulatan negara, harus dilenyapkan dari muka bumi ini.”

Begitulah kira-kira tiga petik kalimat yang mendeskripsikan “cap” (baca : julukan) dari negara kita kepada orang-orang yang dianggap mengacaukan stabilitas politik dan keamanan negeri ini. Kontra Revolusi pada masa orde lama, Subversif di orde baru, dan Teroris pada orde reformasi. Sebutan yang, jika ditilik hakikatnya, sesungguhnya setali tiga uang (serupa) , cuma saja zamannya berbeda.

Orde Lama dibawah kepemimpinan Bung Karno adalah masa dimana perlawanan rakyat untuk sepenuhnya lepas dari cengkraman kolonialisme tengah mencapai puncaknya. Bung Karno dengan kharismanya menghipnotis hampir seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama berjuang mencapai kemerdekaan 100%.

Soekarno bersama massa radikal progresifnya senantiasa menyerukan revolusi Indonesia; perubahan total pada fondasi negara. Jika kaum revolusioner adalah kaum yang menginginkan perubahan radikal dan fundamental dalam tata kehidupan masyarakat secara cepat, maka terdapat pula golongan-golongan yang sepertinya tidak sepakat dengan revolusi yang tengah digencarkan, mereka ini lah yang pada rezim itu dicap sebagai kontra-revolusi. Orang-orang yang tidak sejalan dengan cita-cita Soekarno untuk melakukan perubahan menyeluruh secara cepat (revolusi) di negeri ini. Pada masa itu setiap orang harus siap tidur di penjara jika dituduh kontra revolusi.

Revolusi 1945 dengan Soekarno sebagai Panglima Besar Revolusi akhirnya runtuh juga di tangan para kelompok kontra revolusioner, puncaknya adalah ‘kudeta’ Letjen. Soeharto melalui momen GKOS/PKI 1965 yang kemudian membawa Indonesia memasuki masa Orde Baru, yang tanpa ‘dengung revolusi’ sama sekali.

Orde Baru adalah rezim yang dibangun atas dasar rasa takut. Bila dilihat dari proses terbentuknya, Orde Baru disemai dari adanya persaingan antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Angkatan darat (AD) memperebutkan pengaruh politik nasional. Persaingan itu pula yang membuat mimpi besar Soekarno menyatukan kekuatan politik Nasionalis, Agama, dan Komunis (NASAKOM) menjadi kekuatan progresif-revolusioner membangun Indonesia raya menjadi gagal.

Penyebutan “yang baru” merupakan keinginan untuk mengkontraskan diri dari “Orde (yang) Lama.” “Yang lama” dipandang sebagai keadaan kacau di mana-mana akibat pertentangan politik dan ideologi, revolusi yang tak kunjung usai, serta ekonomi yang tidak membawa kemakmuran. Sedangkan “yang baru” menampilkan diri sebagai pembawa perubahan yang ingin membawa bangsa Indonesia kepada kemakmuran ekonomi dan kemajuan teknologi.

Jika orde yang lama, kelompok-kelompok penentang penguasa dilabeli julukan kontra revolusi, maka pada orde yang baru ini, subversive adalah senjata pembasmi untuk membungkam mereka yang membangkang. Subversive merupakan instrument ampuh pemerintah untuk menyerang lawan-lawan politik, pejuang pembebasan, penentang pemerintah, dan siapa saja yang dianggap dapat mengancam kelanggengan kekuasaan rezim.

Sebagaimana disebutkan diatas, orde baru adalah rezim yang disemai atas dasar rasa takut, terutama ketakutan pada kata ’revolusi’. Ketakutan pemerintah Orde Baru pada kata revolusi adalah ketakutan pada keadaan yang dipandang bakal mengancam kelanggengan kekuasaannya. Ketakutan itu diterjemahkan ke dalam kata “komunis” dan “kriminal”. Maka tak heran, setiap menghadapi individu atau kelompok yang ditengarai bakal menimbulkan kerisauan sosial, dengan serta merta dicap sebagai komunis atau kriminal.

Stigma komunis yang merupakan pelabelan penguasa kepada lawan-lawannya, seketika menjadi stigma social di masyarakat melalui propaganda-propaganda rezim. Mereka yang ‘berbau’ komunis serta merta akan dikenakan pasal-pasal subversive, dengan hukuman yang demikian berat.

Subversi, meskipun dengan pasal-pasal karet dan kekaburan makna, adalah kata yang paling sering muncul dalam wacana public di kala itu. Media massa sebagai alat propaganda adalah unsur yang paling berperan dalam mencitrakan dan melegitimasi kekuasaan, melalui pembangunan opini publiknya.

Pelabelan-pelabelan subversive oleh orde baru dilakukan tidak hanya pada lawan-lawan politik semata, bahkan wong cilik yang tak mengerti sedikit pun tentang negara, turut pula terjerat. Pemalsuan pestisida oleh seorang Ibu di Bandung dan pemalsuan kupon hadiah oleh seorang cukong eceran, juga dianggap tindakan subversive. Selain itu penyebaran roman tetralogi Pramoedya Anantatoer, turut pula dijerat pasal-pasal subversive, pelaku huru-hara kasus Tanjung Priuk, peledakan bank BCA, demonstrasi mahasiswa ITB 5 Agustus 1989, dan lain sebagainya, adalah contoh-contoh penggunaan UU Subversif yang ‘sak karepe dewe’.

Apa yang dilakukan oleh Orde Baru itu tak lepas dari upayanya mempertahankan kekuasaan. Bila mengikuti perspektif Foucault, maka upaya itu dilakukan melalui pewacanaan dan pencitraan secara terus-menerus, sehingga apa yang diopinikan dipandang sebagai bentuk kebenaran.

Kondisi yang tak jauh berbeda, tejadi pula di era reformasi ini. Pasca penyerangan Gedung Pentagon di Washington, AS, 11 September 2001, terorisme menjadi wacana yang paling ‘menarik’ dan paling sering di-blow up- oleh media massa dalam dan luar negeri. Terlebih setelah tragedy Bom Bali 1 & 2, negeri ini seakan sangat akrab dengan terorisme.

Terorisme, melalui perjalanan panjang pergeseran maknanya, kini banyak diasosasikan dengan gerakan-gerakan ekstremis umat Islam. Jaringan Al-Qaidah dalam lingkup internasional, dan jaringan Jamaah Islamiah dalam lingkup Indonesia, adalah kelompok-kelompok muslim yang dituduh ‘gembong teroris’.Namun, banyak pihak yang kemudian menganggap bahwa kata terorisme, hingga kini belum memiliki batasan-batasan yang jelas. Sama dengan subversive pada masa orde baru yang sangat luas, sehingga tindakan kecil yang tidak membahayakan negara pun dianggap subversi, terorisme belum memiliki konseptualisasi yang jelas dan jernih.

Konseptualisasi mengenai konsep dan definisi terorisme boleh jadi juga merupakan sumbangan dari media massa. Media massa ‘berkewajiban’ mengkomunikasikan fenomena kompleks itu dalam satu ruang sempit berupa kolom-kolom sempit surat kabar atau waktu tayang televisi, sehingga tanpa disadari media massa melabeli berbagai macam tindakan kekerasan dengan sebutan ‘terorisme.

Terlepas dari kekaburan konsep terorisme itu, telah menjadi opini public bahwa terorisme di Indonesia dan Internasional adalah berasal dari kaum muslim, seperti halnya pada masa orde baru, tindakan-tindakan subversive diasosiasikan kepada komunisme.

Tulisan ini mengajak kita melakukan eksplorasi lebih dalam terkait realita-realita pencitraan itu. Bagaimana dan mengapa, penguasa rezim cendrung melabeli golongan-golongan tertentu dengan pencitraan-pencitraan negatif ; kontra revolusi, subversi, dan terorisme itu??? Apakah ketiga ‘label’ itu sesungguhnya hanyalah semacam alat semantic kekuasaan oleh para penguasa untuk mengamankan pemerintahannya dari kelompok anti-pemerintah???. Menjadi tugas kita bersama untuk mengkaji fenomena tersebut lebih dalam lagi.

Sebuah pernyataan keraguan dari Noam Chomsky, mungkin cukup untuk menjadi landasan pengkajian kita terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas. Chomsky mencoba menunjukkan bagaimana sebuah peristiwa yang sama dapat dimaknai secara berbeda, dengan menyitir sebuah percakapan bajak laut dan armada pasukan laut di abad pertengahan. Alkisah suatu ketika sang bajak laut dapat ditangkap oleh armada pasukan laut. Bajak laut yang tertangkap, ngotot tidak mau ditangkap oleh armada. Ini yanga dikatakannya : “ Mengapa saya yang kecil disebut perampok, sementara Anda yang mengambil upeti dalam jumlah besar disebut Pahlawan?

“ Pemerintahan yang otoriter memang cenderung memelihara rasa takut di tengah masyarakat. Upayanya antara lain melalui pencitraan dan pelabelan terhadap gerakan, aktivitas atau golongan tertentu”. Hipotesa tersebut boleh jadi merupakan kesimpulan atas pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan.

Mari kita diskusikan lebih lanjut…


by_nashruddin qawiyurrijal

*tulisan ini disampaikan pada Diskusi Rutin Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa/Pelajar Indonesia Sulawesi Selatan (IKAMI SULSEL) Cabang Malang,14 Agustus 2009

Senin, 17 Agustus 2009

DAN LANGIT PUN MENANGIS

Kala tulisan ini kutorehkan, langit kota Malang tengah meneteskan air mata. Hujan itu baru saja turun. Tak begitu deras, tak begitu rintik. Tapi hujan itu (sepertinya) menitikkan rona kepedihan, meneteskan keresahan, terlihat ungkapan kesedihan olehku.

Mungkinkah tangis itu, bentuk duka Sang Langit untuk bangsa ini?, bangsa yang besar, yang tak kunjung menyegarkan benih-benih generasinya?, seperti Sang Hujan yang selalu mampu menyegarkan benih-benih hijaunya di bumi, menyuburkan mereka.

Ironis memang, pekik merdeka yang selalu kita teriakkan selama 64 tahun lamanya, tak kunjung menjadikan kita merdeka. Ketika kita menyebutkan kata kemedekaan, maka seharusnya kata kesejahteraan pun turut kita sebutkan. Ketika kemerdekaan kita peroleh, maka tentunya kesejahteraan pun demikian, apatah lagi 64 tahun sudah waktu kita berbuat untuk itu.

Kemerdekaan dan kesejahteraan, mestinya berbanding lurus dalam realitas. Bagiku, ia bukanlah friksi yang dikotomis. Karena ia, kemerdekaan dan kesejahteraan sesungguhnya dua kata yang tak cocok dipisahkan, ia mesti disandingkan. Kalau kita merdeka, maka kita sejahtera.

Hari ini, dengan membuka mata hati, kita tentu akan jujur berkata ; “ Kita belum sejahtera”. Ya, kesejahteraan itu belum direngkuh. Kita punya banyak harta. Kita punya banyak masa, 64 tahun. Kita punya banyak asa. Kita punya banyak kata ‘merdeka’.

Tapi, kemana harta itu?
Tapi kemana masa itu?
Tapi kemana asa itu?
Tapi kemana kata ‘merdeka’ itu?

Dan, langit pun menangis
Menorehkan rona kepedihan,
Menghapus kata ‘merdeka’ yang telah kita lukis 64 tahun lamanya
Karena ternyata lukisan kita adalah lukisan yang memakai tinta-tinta palsu..
Tinta-tinta palsu yang kita goreskan di kanvas yang palsu pula..

Dan,,
Langit pun Menangis..
Kemerdekaan tanpa kesejahteraan..

MERDEKA KAH KITA HARI INI ?


Merdeka...

Merdeka...

Merdeka...

Kata-kata tersebut senantiasa memekik keras di seluruh penjuru nusantara tatkala negeri ini merayakan hari kemerdekaannya. Kata-kata yang dahulu juga senantiasa dipekikkan oleh pejuang-pejuang negeri ini ketika membela tumpah darah Indonesia di medan pertempuran.

Kini, 64 tahun sudah negeri kita tercinta, Indonesia, lepas dari belenggu penjajahan. Hari ini, 17 Agustus 2009, seluruh anak negeri bersorak ria, memekikkan dengung kemerdekaan, menyambut gempita proklamasi yang tiap tahunnya kita peringati. Beragam kegiatan untuk menyemarakkan perayaan kemerdekaan pun dilaksanakan, perlombaan panjat pinang, pentas seni, karnaval, dialog kebangsaan, gerak jalan santai, dan lain sebagainya, mulai dari tingkat desa, daerah, tingkat nasional, bahkan internasional.

Inilah euforia yang selalu menghampiri kita, setiap kali negeri ini merayakan hari kemerdekaannya. Euforia yang tentunya akan menjadi semakin berarti ketika kita mencoba menyelami makna dan hakikat kemerdekaan yang kini kita hirup. “Sudah merdekakah kita hari ini?, pertanyaan ini bukanlah sebuah pertanyaan yang kemudian meragukan atau bahkan tidak mempercayai bahwa negeri kita memang telah merdeka, tetapi pertanyaan tersebut tak lebih dari pertanyaan yang akan membuat kita merenung dan mengintropeksi diri, apakah saat ini, negeri kita, yang selama 64 tahun selalu kita rayakan kemerdekaannya, memang telah merdeka sepenuhnya?, apakah negeri kita telah merdeka 100%?

Jika kita memaknai kata merdeka dengan arti kebebasan; kebebasan bangsa ini mengatur kehidupannya sendiri, kebebasan bangsa ini mendayagunakan beragam sumber dayanya demi kepentingan rakyatnya, kebebasan mengatur dan merencanakan masa depannya sendiri, dan kebebasan-kebebasan lain yang tentunya bukan hanya kebebasan dari desing peluru dan gempuran panser, maka patutlah kita menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan kata ‘belum’.

Ya, negeri ini belum merdeka kawan. Negeri ini, ternyata tidak mencapai kemerdekaan yang sepenuhnya, seperti yang dijargonkan Tan Malaka, salah satu pejuang kemerdekaan, yakni Merdeka 100%. Realitas kita hari ini menunjukkan bahwa negeri kita hanya merdeka secara fisik saja, merdeka dari penjajahan secara ‘badaniah’ semata, tidak ‘batiniah’. Kita hanya terbebas dari desing peluru penjajah, tetapi kita belum cukup bebas dari cengkraman tangan-tangannya.

Merdekakah kita hari ini ketika ekonomi kita masih sangat bergantung pada korporasi asing? , ketika sumber daya alam kita tidak dapat dinikmati sepenuhnya oleh anak-anak negeri?, ketika ladang minyak, batu bara, dan gas alam kita tidak kita kelola secara mandiri untuk kepentingan lebih dari 200 juta jiwa penduduk negeri, sebagaimana amanat konstitusi yang menjadi landasan pijak bangsa Indonesia?. Merdekakakah kita hari ini ketika politik kita didikkte oleh bangsa lain?, ketika budaya khas kita justru tercerabut dan tidak mengakar di hati putra-putri bangsa ini?, ketika pakaian, makanan, kesenian, dan beragam peninggalan nenek moyang kita justru ditenggelamkan oleh produk-produk budaya bangsa lain?. Merdekakah kita, Indonesia, ketika kita tak mampu beridiri di kaki kita sendiri?

Sederet pertanyaan-pertanyaan tersebut harus segera kita temukan jawabannya, untuk kemudian menilai sejauh mana nafas kemerdekaan yang selalu kita gelorakan, sejak 64 tahun silam, sudah layakkah kita merayakannya segempita mungkin ataukah belum. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan membawa kita lebih memahami makna dan hakikat kemerdekaan yang seharusnya kita raih. Bukan hanya kemerdekaan secara fisik, tetapi juga kemerdekaan secara ekonomi,politik,dan budaya. Bukan hanya merdeka secara badaniah, tetapi juga merdeka secara batiniah.

Marilah kita jadikan momentum kemerdekaan bangsa Indonesia tahun ini, sebagai tonggak sejarah untuk senantiasa melanjutkan perjuangan, hingga kita berhasil merengkuh kemerdekaan yang sepenuhnya. Sebab perjuangan (seharusnya) tak akan pernah berhenti sebelum kita merdeka 100%.

Merdeka 100%...

Minggu, 19 April 2009

Terkoyak..

Sebuah koran dengan huruf besar dan tebal beruliskan "KOMPAS", bertanggalkan 17 April 2009, tersimpan lusuh di dalam ransel Eiger ku yang (ironisnya) selalu kubawa kesana-kemari, kemana aku melangkah. Sudah pasti kubawa, kalau tak kubawa, mau aku simpan dimana laptop hitam mungil ku yang harus selalu standby untuk connecting.

Hari ini Minggu sedangkan koran itu koran hari Jum'at, ia harusnya sudah di lemari kamarku bersama tumpukan koran-koran lainnya yang selalu kulahap setiap hari. Namun ternyata tidak, koran ini masih di ranselku, Lusuh. Artinya ia belum terbaca..

Ooow,,shiiiit..

Ya, aku ingat, aku sama sekali belum membaca surat kabar itu. Aku ingat, 2 hari lalu sebelum berangkat ke kampus, aku (seperti biasanya) menyempatkan diri, menyeberang jalan depan kosku yang super padat dan membeli sebundel koran Kompas seharga Rp.2000,- d alfamart (lebih sering koran Tempo d kios tepat di depan indekos ku). Aku memang tak langsung membacanya, karena sangat buru-buru waktu itu. Temanku yang membacanya, dan teman ku yang lain yang membawanya siang itu. Jadilah aku tak tahu informasi apa pun hari itu.

Malamnnya, ketika koran itu aku ambil dari teman ku (tentunya dengan niat, aku ingin membacanya), aku masukkan ke ransel hitam ku. Tak sempat kubaca lagi. Aku sedang asyik bermaya-maya ria di hotspotan kampus hingga pukul satu tepat. Pulang, tidur, besoknya kembali sibuk.

Sampai detik ini, ia bahkan belum terbaca. Ia sekarang ada di sampingku, sebenarnya tinggal siap untuk dibuka lembar demi lembar. Tapi justru aku ternyata lebih asyik ber-facebook ria disini, di hotspotan ini.

Yaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah,,
Kenapa aku membiarkannya terlewatkan,
bisa jadi kesibukanku yang mungkin terkesan 'sok sibuk',
atau lebih mungkin ia kalah pesona dari kenikmatan dunia maya yang selalu menggoda..
Faktanya seperti itu, aku lebih memilih membuat mataku 'bertambah minus' karena LCD yang tajam dari pada sedikit membuka lembar-lembar koran kadaluarsa itu.

Faktanya, hari ini aku juga tak baca koran,kemarin pun begitu.
Aaah, rasanya pekan ini minat bacaku surut.

Faktanya aku lebih sering menyalakan laptop untuk connect ke virtual world dari pada sedikit saja membaca koran Kompas atau Tempo (kesukaanku), atau sekedar masuk ke perpustakaan, mengeja bacaan-bacaan komunikasi yang sebenarnya sangat kubutuhkan.

Faktanya,
Aku telah membuat dunia maya mengalahkan pesona rutinitas membacaku, yang dulu selalu terasa begitu asyik.

Aku harus introspeksi lagi..

Kontemplasi..

Terkadang seseorang muak dengan kehidupannya,
muak dengan hari-harinya,
muak dengan hubungan-hubungannya..entah dengan manusia, atau bahkan dengan Tuhan nya,
muak dengan habitual itu-itu saja yang mendominasi hampir semua waktunya setiap hari,
muak dengan kenikmatan-kenikmatan,kemudahan-kemudahan,keinstanan-keinstanan, yang diberikan Tuhannya kepadanya..

Sebuah rasa yang pikirku sangat alamiah..
Refleksi takdir kehidupan yang otoriter diputuskan oleh Tuhannya..
Representasi kemanusiaanya yang menjemukan..
Pemberontakan atas keimanan..

Yaa..bisa jadi,
Pemberontakan atas keimanan,
Keimanan yang selama ini diusung tapi tak dipahami,
Keimanan yang terbelenggu oleh sebuah bangunan agamis,yang mungkin terasa menyiksa..
Menyesakkan..

Seseorang dan dan kadang kala Aku..menemukan muak itu dalam perenungan ku..kontemplasi refleksku..
dalam pertanyaan-pertanyaan ku pada anak-anak lulusan pesantren yang tampaknya (menurut mataku) terbelenggu..
Mungkin terbelenggu oleh janji-janji yang ia lontarkan, konon ketika di 'baiat' dulu..
Atau kalau dalam agama teman ku, ketika di 'baptis' dulu..
padahal sesungguhnya mereka 'enggan'..

Hahaha..
itulah konsekuensi teman,
konsekuensi atas kemunafikan mu dulu..
bahkan mungkin hingga sekarang..

Kehidupan kita ada dalam kultur masyarakat materialis-pragmatis,
yang menilai segala dengan ukuran materi ; uang, gelar..
Meski ternyata ia uang-uang korup,.
pun juga mungkin saja gelar-gelar gadungan yang memalukan..

Maka kalau sebuah film "into the wild", menceritakan kemuakan-kemuakan Alexander Supertramp pada dunia nya yang menyiksa ; karena ibu-ayah nya yang tak rukun ; yang katanya "always thing..thing..thing" ; ukuran selalu pada benda,,benda,,dan benda ;materialis sekali..

Maka kemuakan-kemuakan ku juga ada pada desir kehidupan itu..
Sedikit mirip "into the wild" ;
Pada kehidupan ku..kehidupan yang selalu menjemukan..memuakkan..kehidupan di atas pondasi keragu-raguan ; skeptisme..

Kalau Alexander Supertramp melakukan pemberontakan atas 'muak' dengan membuang dirinya ke alam buas ; mengembara seorang diri ; tanpa uang, handphone, rokok..

Maka aku belum tahu pemberontakan ku dengan apa..??
mungkin dengan ini...

Yang pasti pemberontakan itu akan aku nyalakan setiap saat..
Karena memang aku adalah seorang 'pemberontak'..yang mungkin sudah tak lagi waras..menurut arti 'kewarasan' yang dipahami oleh orang-orang waras..

Berontak..

Kamis, 09 April 2009

iNdoNeSiA MEMILIH


Hari pencontrengan akhirnya tiba. Hari ini, Kamis, 9 April 2009, serentak di seluruh penjuru tanah air, hajatan besar rakyat Indonesia dilaksanakan. Sebanyak 171.265.442 orang (data KPU Pusat) yang tersebar dari Sabang sampai Merauke menyalurkan hak pilih mereka. Hak pilih untuk memilih partai dan memilih calon anggota legislatif (DPR RI, DPRD TK.1, DPRD TK.2) yang akan menentukan nasib bangsa Indonesia 5 tahun ke depan.

Riuh kampanye telah berakhir, dan sebentar lagi bakal berganti dengan riuh penghitungan suara. Bahkan akan bertambah riuh lagi oleh penghitungan-penghitungan cepat (Quick Count) yang dilakukan oleh beberapa lembaga survey dalam negeri. Keriuhan yang terjadi, bakal lebih dari sekedar keriuhan akan kegirangan karena partai yang dipilih ternyata menang, lebih dari itu, keriuhan akan desas-desus kecurangan dan bibit-bibit konflik akan segera mewarnai jagat Indonesia beberapa hari mendatang. Berkaca dari pengalaman, keriuhan-keriuhan seperti itu takkan mungkin terhindarkan. Selalu ada yang memprotes dan diprotes. Selalu ada yang puas dan tidak puas. Selalu ada yang mencurangi dan merasa dicurangi. Sesuatu yang klasik!!

Bagi kita, civil society, yang sadar akan hak-hak dan kewajiban sebagai warga negara, inilah tahun yang penuh warna. Mulai dari warna-warni baliho caleg yang menghiasi jalan-jalan di sebelah dan di depan rumah kita, warna-warni gambar partai dan foto caleg di kertas suara pemilihan yang memusingkan, sampai pada warna-warni pertengkaran dan pertentangan yang akan selalu ditumbuhkan dari pesta-pesta semacam pemilu ini.

Akhirnya, sebagai seorang warga negara yang melek politik, sebagai seorang putera bangsa yang rindu akan Indonesia yang lebih baik, satu himbauan buat kawan sekalian; " Memilih lah dengan hati nurani. Bukan karena siapa-siapa atau karena apa-apa. Bukan karena demi kepentingan pribadi atau kelompok, tetapi lebih demi kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Mari wujudkan pemilu yang jujur, bersih, aman, dan adil. Hargai lah perbedaan, karena perbedaan itu hal biasa, hanya dengan perbedaan lah kita dapat hidup."

SELAMAT MEMILIH UNTUK INDONESIA YANG LEBIH BAIK..

tERimA kAsiH FaceBook

Facebook..
Situs jejaring teranyar dan terheboh. Kini menyihir dunia. Menghipnotis tanpa mengenal gender; lelaki atau wanita. Tanpa memandang usia; tua, muda, kakek, nenek, bahkan mungkin yang sudah uzur.

"Demam facebook sedang melanda dunia. Orang-orang seperti keranjingan berbagi informasi, rasa, tawa, canda, hasrat, ekspresi, dan impian lewat jaring sosial di dunia maya ini. Bahwa di dunia nyata sehari-hari mereka tidak saling menyapa, itu persoalan lain. Beginilah cara paling modern generasi sekarang memelihara relasi sosial dan kekerabatannya." (Kompas, Minggu, 15 Maret 2009 'Dunia Tersihir Facebook')

Facebook adalah situs web jejaring sosial yang diluncurkan pada 4 Februari 2004 oleh Mark Zuckerberg, seorang lulusan Harvard University. Sebenarnya facebook sudah merambah Indonesia sejak 2007, tetapi baru akhir 2008 kemarin, situs jejaring ini booming dengan persentase peningkatan penggunanya mencapai 93 persen.

Luar biasa...
Daya pikat fecebook yang luar biasa mampu menyisihkan dominasi situs jejaring lainnya, sebutlah Friendster, dan lain-lain.

Seorang teman beberapa waktu lalu bertanya kepadaku, "Sudah berapa banyak teman yang kamu miliki di Facebook mu??". Aku menjawabnya diplomatis " Facebook itu bagi aku adalah wahana untuk membangun relasi sosial, berguru kepada orang besar, dan bertemu kawan lama. Kawan yang mungkin berpisah sejak kita lulus TK,SD,SMP,SMA, dan seterusnya. Bukan untuk mengumpulkan banyak nama hingga mencapai 1000,2000-an, bahkan lebih. Apa gunanya kita menjadikan teman sebelah kamar kos-kosan kita sebagai teman di Facebook?? Toh setiap hari, tiap berebutan ke kamar mandi, tiap nonton bareng Liga Champions, dan tiap berebutan ember Ibu Kos yang cuma satu, kita hampir selalu bersama mereka. Atau apa gunanya teman sekelas di ruang kuliah yang hampir di setiap perkuliahan kita duduk bersebelahan, melahap jajanan bareng di belakang kampus, pulang bersama, dan main futsal bareng di sore hari, menjadi teman kita di Facebook?? Facebook aku gunakan hanya untuk kawan-kawan lamaku, berkenalan dengan orang-orang besar (penting), menjalin relasi dengan sastrawan, pendidik, businessman, dan lainnya."

Di Indonesia, bukan hanya anak muda yang keranjingan nge-Facebook. Karyawan hingga politikus pun turut terhanyut. Sepertinya hal itu terjadi karena Obama. Kemenangan Obama sebagai presiden Amerika yang banyak memanfaatkan fasilitas jejaring dunia maya nampaknya menginspirasi politikus-politikus dalam negeri untuk juga membangun citra melalui Facebook. Sesuatu yang wajar. Obama sentris.

Aku pun secara pribadi harus berterima kasih kapada facebook. Melalui fecebook, aku kini dapat membangun komunikasi kembali dengan kawan-kawanku yang telah lama terpisah. Kawan-kawan sekolah yang tercerai-berai, kawan-kawan eks kampus lamaku yang masih selalu aku rindukan, juga orang-orang penting yang inspiratif semacam Jalaluddin Rakhmat, Magdalena Wenas, dan beberapa yang lain.

Lebih dari itu, terima kasih ku sedalam-dalamnya untuk facebook, karena melalui-nya lah kini aku kembali menemukan sesuatu. Sesuatu yang telah lama hilang dari hidupku. Sesuatu yang seharusnya ada di sisiku sekarang namun ternyata tidak. Sesuatu yang memberi banyak kenangan yang sungguh menginspirasi. Terima kasih karena facebook telah memberikan nafas baru bagiku. Nafas baru untuk menjalani kehidupanku yang dulu nyaris kering-kerontang tanpanya, "tanpa sesuatu itu".

Terima kasih Facebook!!

Senin, 06 April 2009

dARi DPT hiNGGA GoLPut


Gendrang pemilu ntar lagi ditabuh nih. Kamis, 9 ApriL 2009 manusia-manusia Indonesia bakal punya hajatan besar, yang sejak zaman Bung Karno tepatnya pada pemilu pertama tahun 1955 akrab dengan julukan 'pesta demokrasi'. Pesta demokrasi berarti rakyat Indonesia berpesta dalam membentuk pemerintahan yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (demos & kratos kan??).

Seperti pesta-pesta yang lain, entah itu pesta perkawinan, pesta kematian (kalau ada seh!!), pesta khitanan, pesta wisuda, pokoknya semua pesta deh, pasti akan selalu dipenuhi keramaian. Keramaian akan kerumunan massa di TPS, keramaian akan arak-arakan kampanye yang menjadi semacam undangan bagi rakyat untuk mengikuti pesta, pun keramaian akan konflik-konflik yang bakal timbul nantinya setelah pesta itu usai.

Menjelang pesta yang tinggal beberapa hari ini, gonjang-ganjing masalah peserta pesta (Daftar Pemilih Tetap) masih saja mengemuka. Disinyalir ada manipulasi lah, ada data yang tidak complete lah, ada pemilih yang namanya dobel sampe ratusan kali lah, pokoknya ada-ada aja deh.

Tuh semua gara-gara Pilgub Jawa Timur sih. Dipicu oleh pengunduran diri Pak Kapolwil Jatim karena mengetahui banyak kecurangan DPT yang dilakukan oleh salah satu calon saat Pemilu tahap ke 3 di Pulau Mataram (MADURA Kota Garam,,hehe ), akhirnya DPT nasional juga kena imbas deh.Tapi bagus lah, biar semua masalah yang bakal mengacau balaukan pemilu nanti bisa diselesaikan secapatnya, supaya apa??supaya rakyat gak lagi terombang-ambing. Terombang ambing atas apa??terombang ambing atas janji-janji manis para caleg yang gak tahu besok-besok kalau mereka udah duduk di kursi empuk dewan itu, bakal membuktikan gak janji dari mulut manis mereka.

Sukses aja deh buat pemilu kita besok. Sowry yah Pak Ketua KPU, aku gak bisa ikut pesta itu. Aku gak nyoblos sih soalnya (eH,,sekarang diganti contreng yah??). Aku gak bisa ikut nyontreng alias golput..Golongan Putih gitu low.Aliran sesat ala pemilu. Itu seh kata MUI,"golput haram" katanya.

Aku sih sepakat-sepakat aja ma golput, wong gak ada larangannya dalam Al-Qur'an koQ. Agama dipolitisasi!! Tapi golput ku bukan karena gak mau milih lho, lebih karena aku nih anak rantau. Lagi mengembara di kampung orang. Jadi gak bisa nyontreng deh, semua peserta pemilu kan cuma bisa nyontreng d daerah yang sesuai ma alamat KTP mereka.

Makanya, pemerintah tuh harusnya menyoroti itu. Carikan solusi yang terbaik buat suara anak-anak rantau. Masa dibiarin begitu aja. Bayangin deh, berapa juta mahasiswa yang kuliah bukan di daerah mereka. Syukur-syukur kalau kampung mereka tuh jaraknya cuman 75 kilometer dari tempat kuliahnya, kan bisa pulang tuh.Tapi kalo harus nyeberang lautan atau harus terbang menembus awan dulu, gimana dunk??. Masa kita -mahasiswa rantau- rela pulkam hanya untuk nyontreng doank. Ngabis-ngabisin duit, tenaga, n waktu kan?? Aku mah emoooooh pulang kampung cuman buat nyontreng kertas suara penentu nasib rakyat itu. Malang-Makasar jauh men, butuh duit 500 ribuan sekali jalan, PP berarti 1 jutaan dunk. Waaaah bisa bokek alias terserang kanker (kantong kering)tuh!!

Jadi, kalau nurut aku nih ya, pemerintah harusnya mengatur itu. Buatlah regulasi tentang anak rantau yang juga pengen nyalurin hak suaranya, biar suara ratusan ribu dari kami -mahasiswa pengembara- itu gak terbuang percuma. Kan eman (percuma) toh??.

So, kalau bisa pemilu berikutnya KPU udah nyelenggarain pemungutan suara di kampus deh. Kerja sama ma pihak rektorat. Buatkan TPS di kampus khusus untuk mahasiswa dari luar kota, luar pulau. Kalau udah gitu kan, suara kita juga bisa ikut nentuin nasib bangsa ini kedepannya.

OK coyyyyyy???

Sabtu, 04 April 2009

FuCk tHe CapitALisM..


Tahukah kita apa itu Kapitalisme dan siapa itu kaum kapitalis??
Berikut defenisi kapitalis dan kapitalisme dari Kamus Ilmiah Populer "Edisi Millenium" oleh Burhani MS-Hasby Lawrens :

-> kapitalis adalah kaum bermodal ; pemilik saham ; penyandang modal; negara penganut kapitalisme
-> kapitalisme adalah sistem perekonomian yang berdasarkan hak milik partikelir yang menekankan kebebasan dalam lapangan produksi, kebebasan untuk membelanjakan pendapatan, bermonopoli, dan sebagainya sedang alat-alat produksi dikuasasi oleh kaum kapital.

So..that's it
Kapitalisme sesungguhnya adalah sistem ekonomi yang belakangan karena daya hegemoni berkat ekspansi kapitalis yang mengglobal, menjadikannya sebagai salah satu ideologi yang kini menguasai dunia.

Seluruh sendi kehidupan kita saat ini adalah bagian dari "setting" an kapitalis..mulai dari harga lalapan yang Rp.4500, kenaikan SPP, Badan Hukum Pendidikan, hingga program-program acara yang ditayangkan televisi maupun berbagai kemudahan di virtual world adalah wujud konkret dari hegemoni kapitalisme.

Sebuah tulisan menarik tentang kapitalisme pada harian Kompas, Rabu, 18 Maret 2009 dengan judul Menimbang Ulang Kapitalisme, menyebutkan :
"...dalam the schumacher lecture (6 Oktober 2008, sebuah kuliah publik tahunan di Inggris untuk menghormati ekonom EF.Schumacher (penulis Small is Beautiful, Susan George (penulis The Lugano Report) melukiskan kapitalisme sekarang dengan ungkapan begini : "kapitalisme dewasa ini tidak lagi waras menurut arti kewarasan yang dipahami orang-orang waras"

Maksudnya apa yah???
Apa yang tidak waras pada kapitalisme dewasa ini??
Amartya Sen, melukiskannya sebagai jenis kapitalisme 'yang menyiapkan malapetaka' karena 'tidak adanya regulasi atas berbagai malpraktik keuangan yang niscaya berakibat pada spekulasi ganas dan kebuasan pengejaran laba.

Atau dengan meminjam ungkapan Adam Smith, "kapitalisme dewasa ini ada di tangan para pemboros dan penjudi yang membuat modal jatuh ke tangan orang-orang yang paling berperan menghancurkannya".

Kalau itu belum cukup, Jack Welch, si pencipta gerakan 'aktivisme pemegang saham' menyebut dengan kasar apa yang dikejar kapitalisme dewasa ini sebagai 'kedunguan paling besar".

Jadi apa yang dapat kita simpulkan dari itu semua??
"kapitalisme adalah sistem yang bobrok, merusak, dan menjajah"

Mengapa??
Lihat saja orang-orang yang notabene dulunya menuhankan kapitalisme kini berbalik menghujat..Adam Smith dkk..akhirnya mereka tersadarkan dari mimpi buruk mereka..
Semoga itu benar adanya..

MUSIK SEBAGAI MEDIA PERLAWANAN "catatan singkat seorang demonstran"

Hidup Mahasiswa..
Hidup Mahasiswa..
Hidup Rakyat..


Pekikan kata-kata penuh gelora itu sungguh sangat akrab di telinga ku, tentu juga di telinga kawan-kawan dan tentu pula di telinga masyarakat Indonesia, sejak zaman Malari (Malapetaka 15 Januari 1974), Reformasi (1998), bahkan hingga kini meskipun kedengarannya kian redup oleh semakin surutnya ghirah "perjuangan" mahasiswa Indonesia di tengah dunia globalisasi yang menggila ini.

Sebagai seorang demonstran di lorong-lorong jalanan sempit nan padat kota Malang, aku paham betul bahwa pekikan-pekikan kata perlawanan sungguh lah membakar semangat dalam diri, yang menjadikan kita "para agent of chance" memiliki semangat pantang mundur bak api yang terus berkobar-kobar, bukan semangat cacing yang takut pada sinar mentari. Pun begitu dengan bait-bait lagu "pergerakan" yang aku yakini selalu dapat memberi spirit tersendiri dalam perjuangan di "jalanan", menantang teriknya surya, laras, pentungan, bahkan senapan aparat demi sebuah kata "LAWAN".

Coba kawan cermati bait per bait Lagu berikut.
Hayati dan bawa diri kalian laksana berada di jalanan berdebu, di tengah kerumunan massa progresif yang diselingi pekikan-pekikan perlawanan.."Hidup Mahasiswa..Hidup Rakyat"

di sini negeri kami
tempat padi terhampar
samuderanya kaya raya
negeri kami subur Tuhan..

di negeri permai ini
berjuta rakyat bersimbah luka
anak buruh tak sekolah
pemuda desa tak kerja

mereka dirampas haknya
tergusur dan lapar
BUNDA relakan darah juang kami
tuk membebaskan rakyat..

mereka dirampas haknya
tergusur dan lapar
BUNDA relakan darah juang kami
padamu kami berjanji..
padamu kami berjanji..

Sungguh kalimat-kalimat emphaty dan penyadaran dari lagu Darah Juang tersebut begitu mampu membakar rasa takut pada apa pun dengan bahan bakar keringat dan lecutan korek api terik mentari. Membuyarkan segala ketakutan pada ancaman anjing-anjing negara dan menumbuhkan gairah perlawanan terhadap ketertindasan anak negeri.

Setidaknya keyakinan akan sukma sebuah musik (lagu) berpekik perlawanan tak lahir tiba-tiba hanya dengan menatap aksi massa mahasiswa dan rakyat dari layar televisi berukuran 21 inch yang sangat hyper reality itu, tapi datang dari sedikitnya belasan kali menggumulkan diri di aksi massa sektor mahasiswa, buruh,tani,dan kaum miskin kota Malang, yang harus diakui masih sangat 'lunak' dalam hal progresifitas gerakan dibandingkan kota-kota lain di Indonesia dengan kuantitas dan kualitas perlawanan yang lebih bombastis ; Makassar, Yogyakarta, Jakarta.

Atau kawan cermati lirik-lirik berikut,,

Buruh..Tani..Mahasiswa..Rakyat Miskin Kota
bersatu padu rebut demokrasi
gegap gempita dalam satu swara
demi tugas suci yang mulia

hari-hari esok adalah milik kita
terbebasnya masyarakat pekerja
terciptanya tatanan masyarakat
demokrasi sepenuhnya

di bawah topi jerami
ku susuri garis matahari
berjuta kali turun aksi
bagiku sebuah langkah pasti

di bawah kuasa tirani
ku susuri garis revolusi
bersama buruh dan petani
kita tuntaskan revolusi..

Tak dapat ditampik, musik (meski hanya diiringi riuh tepuk tangan) berisi bait-bait perjuangan adalah media perlawanan yang akan selalu berjalan beriringan dengan pekikan-pekikan revolusi dari mulut dan qalbu para pemuda negeri yang gandrung akan perubahan. Musik sebagai media perlawanan adalah sesuatu yang pasti dan semestinya.

Mungkin kawan takkan merasakan apa yang aku rasakan sehingga menganggap lirik-lirik lagu di atas hanya lah sebuah kumpulan kata-kata idealis "kiri" yang tahunya cuma selalu protes dan menuntut,,tapi tatkala kawan terjun langsung di belantara perlawanan rakyat, kawan akan tahu sendiri betapa dahsyatnya efektivitas musik progresif dalam membentuk mental api seorang pejuang.

Jika, masih ada dan mungkin masih sangat banyak mahasiswa yang belum merasakan teriknya mentari di jalan aspal berdebu dengan ancaman laras, pentungan, dan senapan aparat, maka aku menganggap "kemahasiswaan" itu belum lah lengkap.

Tilik lah sejarah..
Wiji Thukul 'sang pejuang reformasi', mahasiswa dengan progresifitas tinggi yang harus diculik oleh budak-budak rezim karena mereka takut akan gelora semangat seorang Wiji,,

Atau Pramoedya Anantatoer 'sang sastrawan sejati' yang sungguh berharap generasi muda sekarang akan menghancurkan orde baru, hingga ke akar-akarnya, ke begundal-begundalnya yang paling rendah sekalipun.

Pun juga, 4 mahasiswa Trisakti 'pahlawan reformasi' yang meregang nyawa dalam gelora perlawanan..hanya demi membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan pemerintah negeri sendiri "Soeharto"..

Serta beragam tauladan-tauladan jalanan lain yang sungguh mulya, meskipun mungkin sebagian orang menganggap mereka mati sia-sia tetapi 'yang berkata begitu' mereka itulah yang kami sebut "anjing-anjing negara".."budak-budak kapitalisme".."penjilat-penjilat darah rakyat".

Silahkan kawan rasakan sendiri..sejauh mana daya dobrak sebuah musik sebagai media perlawanan rakyat..
Tanyakan pada singa-singa jalanan yang kawan kenal..

Hanya ada satu kata kawan "LAWAN"

Kamis, 02 April 2009

KeeP SMILE bOy..



Senyum..
Hmm, sesuatu yang dianggap biasa. Penghias bibir saat berpapasan kawan di jalan. Saat bersua teman lama di Mal Olympic Garden, alun-alun kota,Pasar Besar atau malah di halte bis Malang-Surabaya. Saat menyapa sahabat di kampus tua bercat dinding yang penuh lumut.Saat berbicara dengan teman sebelah kursi diruang kuliah ketika dosen dengan kaca mata minus 6 inch lagi sibuk mengutak-atik rumus. Saat bercengkrama seenaknya di ruang sidang, hingga saat memberi ceramah tanpa judul di forum-forum tak jelas.

Tanpa senyum?
Wow, mungkin bumi akan seperti cerita Bad Mad,Chechnya,Serbia,atau ujung Taliban. Atau kisah Apartheid yang kering kerontang dari sekedar senyum untuk persahabatan, dari sekedar senyum untuk kebersamaan, dari sekedar senyum untuk ketidakberdayaan, dari sekedar senyum untuk kekalahan.

Hmm, hanya sulit untuk membedakan sekaligus menerjemahkan arti sebuah senyum. Apakah penuh ikhlas atau ridha? Atau karena rasa sayang yang tinggi, rasa suka yang tak terungkap, atau rasa simpatik yang mengada-ada? Atau malah karena gombal bin gambil menebar pesona di antara putri-putri khayangan? Atau alasan formalitas, tuntutan situasional, bagian dari kebutuhan atau keinginan, atau malah karena tendensi ataupun benci?

Yang jelas seyum penuh arti. Sepakat? Sepakat!
Tapi sayang nya, kadang senyum juga disalahartikan. Seperti disalah tafsirkannya senyuman-senyuman kaum dhuafa di lampu merah sudut-sudut kota. Padahal nun, dalam lubuk sukma terdalam, ternyata penuh rindu menanti hasil kerja dan kinerja dari orang yang mengaku dan merasa susah dan sudah menjadi pemimpin dari keberpihakan pembelaan pada komunitas mereka.

Senyum..
Esok mungkin akan terasa sulit ketika harus berhadapan dengan primordialitas tuntutan hidup yang berseberangan langsung dengan amanah, tanggungjawab, dan kepercayaan yang sudah pasti bukan sekedar instrumen-instrumen klasik pelengkap interval waktu sang jaka menuju dinasti.

Senyum,,
Kenapa tidak? Kalau orang lain nggak begitu peduli dengan senyum yang disebarkan, tak berkecil hati. Tetaplah senyum agar hidup tetap hidup. Tetaplah senyum paling tidak untuk diri sendiri. Bahkan kadang-kadang makin asyik dan jauh lebih lebih asyik menertawai diri sendiri. Kalau kurang percaya diri dengan senyum yang dimiliki, periksalah gigi mungkin belum sikat gigi sejak kemarin. Kalau sudah disikat namun masih belum percaya diri, berkumurlah dengan pengharum bau mulut dan pemutih gigi.

Kalau itu dianggap masih kurang, hubungi dokter mata tuk periksa secara seksama, jangan-jangan yang sakit mata, atau hubungi dokter jiwa, jangan-jangan yang sakit isi otak. Kalau masih belum juga cukup, hubungi dokter kulit untuk operasi plastic. Mungkin lebih bagus diganti dengan bibir sapi atau kambing, katanya, mereka memiliki senyum yang sangat menawan.
Emang apa sih susahnya untuk senyum. Senyumlah, agar bumi pun tersenyum padamu.

Senyum..
Walau pahit, mungkin lebih baik daripada sembunyi?!

Sabtu, 14 Maret 2009

Fajrul Rahman "Republik Kaum Muda Kedua "


by_nashruddin qawiyurrijal

Fajrul Rahman. Siapa yang tak mengenal. Sosok yang belakangan ini wajahnya selalu mengisi media-media dalam negeri baik elektronik maupun cetak. Ya, Fajrul Rahman lah salah seorang (tokoh, kalau ia dapat dikatakan seorang tokoh, atau aktivis kalau ia seorang aktivis) yang mempelopori term Calon Presiden Independen 2009, sesuatu yang ia perjuangkan bersama kawan-kawan Calon Presiden Independen lainnya (Rizal Ramli, Marwah Daud Ibrahim, Ratna Sarumpaet, Yusril Izha Mahendra dan sederet nama lain yang juga punya nafsu menjadi RI 1). Namun sayang Mahkamah Konstitusi sebagai penentu kebijakan yang hubungannya dengan perundang-undangan menolak pengajuan Calon Presiden Independen tersebut karena dianggap tidak berdasar pada Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal yang kurang lebih berbunyi " Presiden dan Wakil Presiden berasal dari Partai Politik peserta pemilu...".

Senin, 12 Maret 2009, sekitar pukul 18.35 WIB telepon selular ku berdering. Presiden Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang, Rahmadhani Al-Barauwi, mengirim message yang isinya adalah mengajak ngopi bareng Fajrul Rahman di Cafe Corner University Inn UMM.

Fajrul Rahman, sang calon presiden, pagi harinya menjadi pembicara dalam acara Seminar Nasional "Pemilu 2009 dalam Menantang Demokrasi" yang diselenggarakan oleh kawan-kawan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Politik UMM. Dalam acara itu Fajrul diduetkan dengan Akbar Tanjung yang juga sebagai pembicara.

Fajrul Rahman menyempatkan dirinya merasakan semalam dibalut angin dingin kota Malang sedangkan Akbar Tanjung, setelah acara seminar itu selesai langsung bertolak ke Jakarta.

Oleh karena, tidak sempat berpartisipasi dalam seminar pagi harinya, pikirku inilah momen yang tepat untuk bertemu dan berdiskusi langsung dengan Bung Fajrul (aku lebih nyaman menyapanya Bung, dan tampaknya ia pun begitu). Tepat pukul 22.00, sesuai dengan undangan Presma, aku bersama kawan-kawan lain dari beberapa organ mahasiswa melangkahkan kaki ke areal University Inn.

" Tahun 2014 adalah masanya pemuda untuk memimpin.
Tahun 2014 adalah
Republik Kaum Muda Kedua setelah masa Bung Karno"

Setidaknya dua kalimat itulah yang menjadi inti dari pertemuan nonformil yang berlangsung lebih dari 3 jam tersebut. Bung Fajrul Rahman menegaskan bahwa meskipun di tahun 2009 ini ia gagal meng-goal-kan dirinya sebagai capres independen tetapi di 2014 merupakan masa yang tepat untuk mewujudkan cita-cita itu.

Sungguh luhur memang cita-cita untuk menyejahterakan rakyat Indonesia, dan Bung Fajrul meyakini bahwa kesejahteraan rakyat akan tercapai apabila dipimpin oleh kaum muda. Lembaga Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif diisi sepenuhnya oleh pemuda-pemudi Indonesia, begitulah angan Bung Fajrul.

Tak ada yang menyangkal cita-cita luhur nan mulya tersebut dalam forum itu. Diskusi lebih mengalir pada tataran taktik & stategi seorang Fajrul Rahman memenangi Pilpres 2014, pun juga pada ranah apa yang seharusnya dilakukan pemuda mahasiswa saat ini guna menyongsong Republik Kaum Muda-nya Bung Fajrul.

Karena negara kita adalah negara demokratis dimana ruang-ruang publik terbuka lebar, tentunya aku pun sebagai seorang putera bangsa boleh berpendapat tentang Republik Kaum Muda itu. Jika Bung Fajrul lebih menitik beratkan pendikotomian pada fase 'Tua' dan 'Muda', maka menurut ku adalah tak masalah negara besar ini dipimpin oleh seorang tua ataupun muda, tak masalah ia sudah uzur ataupun belia, yang terpenting bagiku adalah komitmen untuk memajukan bangsa ini. Kalau yang dijadikan pemimpin adalah kaum muda yang toh juga jahat sejahat kaum tua, maka apa bedanya??. Percuma kita mendengang-dengungkan pemimpin muda jika pemuda negeri ini juga telah terjangkiti virus-virus laten seperti apa yang menjangkiti senior-senior mereka di kalangan tua. Sekali lagi, bukan "tua-muda" lah yang harus mejadi dikotomi tetapi komitmen 'tunduk' atau kah 'melawan' imperialisme.

Negara kita -Indonesia- saat ini adalah negara yang terlalu menuhankan kekuatan Asing. Negara kita terlalu bodoh untuk terus menghamba pada kekuatan modal. Negara kita sepertinya takut lepas dari cengkraman penjajahan model baru (imperialisme) yang akan terus berekspansi menghisap negara-negara dunia ketiga semata-mata untuk kepentingan negara mereka. Asset-asset negara dilelang, pendidikan diprivatisasi, buruh di-outsourcing, utang negara ditumpuk, dan sederet kamuflase-kamuflase kebijakan rezim kita saat ini, BHP,SKB 4 Menteri, UU Penanaman Modal Asing, UU Minerba, Kontrak Karya Freeport, dan masih banyak lagi policy yang lebih memperkaya negara imperialis ketimbang negeri sendiri.

Selagi kuku-kuku imperialis masih menancap kuat di negeri ini, selagi pemimpin-pemimpin, TUA ataupun MUDA masih saja menjadi budak kepentingan imperialisme, maka selama itu pulalah negeri ini akan selalu seperti ini, amburadul tak karuan.

Republik Kaum Muda 2014 versi Fajrul Rahman hanyalah akan menjadi utopi semata selama pemuda-pemudi negeri kita masih mengantongi warisan Bapak Tuanya.

Republik Indonesia BERDIKARI
bukan Republik Kaum Muda tapi BUDAK..

(diskusi dan ngopi bareng Bung Fajrul Rahman
di Cafe Corner University Inn UMM, 12 Maret 2009, 22.00-01.00 WIB)



Rabu, 11 Maret 2009

Nashruddin Qawiyurrijal 'Untuk Perempuan-Perempuan Indonesia'


Perempuan,,

Dia pencipta hawa nan gemuruh di hidup

Dia pencipta sgala setelah Tuhan kita

Dia.. Perempuan-perempuan

Sosok itu menancap kuat di bebayang cerah metafor

Mengawang mesra di gugusan bintang

Dia cantik..indah..

Imaji bergeliat bersama gugusan bintang menembus mega-mega

Mengumbar kaki langit berhias permadani pelangi

Menghantam batin, sungguh..

Perempuan..

Kau indah,,cantik,,elok,,

Semua puji adalah milikmu

Tentu setelah puji Tuhan kita

Perempuan-perempuan negeriku

Nan lama kau tergolek di pojok sana

Esok..bangkitlah..

Bangkitlah perempuan-perempuan negeriku

Kau maha segala..

Tentu setelah maha Tuhan kita..

Kau mentari..perempuan-perempuan negeriku

Bangkit..tujulah mege-mega itu..

Gugusan bintang menantimu..

Perempuan-perempuan negeriku..

Senin, 09 Maret 2009

iKL@N & mAsyARakat keciL kitA'


by_nashruddin qawiyurrijal'

iklan adalah magis karena mampu menyihir konsumen untuk menkomsumsi suatu komoditas
(Martadi "jurnal deskomvis")

Tak dapat dipungkiri bahwa di era informasi ini, media memegang peranan penting sebagai trendsetter (penentu tren) kehidupan yang turut menentukan iklim kehidupan umat manusia, turut mendukung eksistensi sebuah peradaban, serta turut berpartisipasi pembentukan kepribadian sebuah bangsa.

Dalam sebuah negara demokrasi, seperti Indonesia media/pers merupakan pilar keempat demokrasi setelah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang disebut oleh Montesqieu sebagai trias politika. Melalui media, masyarakat kemudian dapat memantau, mangamati, dan mengontrol kinerja pemerintahan. Melalui media sebagai penyampai informasi, masyarakat berkesempatan untuk turut andil menggerakkan laju demokrasi dengan berbagai pendapat, kritik, solusi, atau apa pun yang kini dapat dengan semakin mudah mereka sampaikan, baik itu melalui program TV, radio, internet, dan beragam media massa lain.


Kita pun tentu sepakat bahwa salah satu fungsi media bagi masyarakat adalah sebagai sarana informasi, tentunya disamping fungsi-fungsi lain yang tak kalah pentingnya (edukasi ; hiburan) . Namun posisi media saat ini agaknya sedikit mulai mengalami pergeseran (movement) menjadi media iklan (advertising). Kehausan manusia akan informasi telah ditunggangi oleh kepentingan yang sangat profit sebagai jebakan maut yang akan mengantarkan kita pada bentuk kecanduan lain yaitu konsumtifisme (penggunaan barang secara berlebihan) .

Kalau kita coba mengamati proporsi iklan dalam media massa kita sehari-hari (surat kabar ataupun televisi), akan ditemukan bahwa iklan-iklan komersil seakan-akan menjadi menu utama.
Setiap halaman koran bahkan hampir seperdua bagian dari tiap halaman berisi iklan-iklan berbagai produk yang semakin menyusutkan kuantitas news report dalam koran itu. Ruang-ruang berita menjadi kian sempit dan terbatas sementara ruang-ruang iklan justru menjadi begitu luas. Pun begitu dalam media televisi, iklan komersil takkan absent sama sekali dalam break setiap program apa pun.

Hakikat iklan sebenarnya juga adalah sebuah informasi, tetapi informasi komersil hanya akan membuat semakin tumbuhnya beragam keinginan material di masyarakat yang sesungguhnya belum terlalu dibutuhkan oleh mereka. Misalnya seorang kuli bangunan yang begitu menginginkan memiliki sebuah laptop Apple, padahal secara rasional ia sama sekali belum membutuhkan itu, ditambah lagi dengan pendapatan sehari-hari yang pas-pasan.

Apa jadinya dunia ini ketika akibat gempuran iklan yang begitu bombastis, masyarakat kecil (status ekonomi dan tingkat pendidikan rendah) menjadi gandrung akan sebuah barang yang mahal-mahal, lux-lux, atau yang instan-instan?, boleh jadi perampokan, pencurian, penipuan, dan beragam kejahatan modus ekonomi lainnya semakin merajalela.


Penting untuk kita pertimbangkan (khususnya pelaku media) bahwa presentase tertinggi penikmat media massa kita (TV dan radio) saat ini adalah mereka yang berada pada golongan menengah ke bawah, juga bahwa semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi konsumsi televisinya (survey AGB Nielsen Media Research, tahun 2007 di 10 kota besar di Indonesia). Ini berarti orang-orang kaya justru sedikit menonton iklan sedangkan orang-orang miskin mencerna lebih banyak iklan yang tentunya secara linear akan memberikan dorongan/hasrat/stimulus untuk berkeinginan.

Filsuf terkemuka Yunani,Aristotle,mengatakan "kebutuhan manusia terbatas, tetapi keinginannya tidak terbatas", dan keinginan-keinginan yang tek terbatas itu tentunya adalah sebuah konsekuensi logis dari gempuran iklan yang mampu menghipnotis pemirsanya. Olehnya itu, penulis mengharapkan sikap bijak media yang tetap harus berpijak pada porosnya yakni sebagai penyampai informasi (murni) kapada khalayak, bukan justru menjadi penghamba kepentingan kapitalis yang tentunya akan selalu mengharap laba dari setiap produknya tanpa mempertimbangkan keroposnya tatanan masyarakat kita. Juga kepada pemerintah sebagai kontroller media (melalui lembaga-lembaga bentukannya) senantiasa mengkatalisasi proporsi iklan (cetak maupun televisi) yang kian hari kian berjubel. Masyarakat yang baik menurut John Steward adalah masyarakat yang equilibrium/seimbang, pemerintah dan non pemerintah menjalankan tugas, fungsi, dan perannya secara proporsional sehingga tercipta iklim kehidupan yang proporsional pula.

Just A siMpLe wRitinG : wE caN iF wE thiNk wE caN'

by_nashruddin qawiyurrijal'
Life is so interesting, right?
Life is struggle, and of course all of you know that life is a long trip. Remember that we born in this world and then we will die, and everything beetween born and die can be negotiated by us with this life. There are many events happened in our life , happiness, sadness, laugh, cry, love, win, lose, etc.

When we walk on our life, we always make a story about ourself, about the world and about evetything around us. Each people has a different tale. Those tales are source from our experiences and what are the other people said to us.

The first purpose beetwen the all items in our life is succesfull. Every people want to be success. No one want to be lose, and no one want to be fail. Success is a happiness. It means that, there are many owesome and positive things during we live. It means that we get honourary from the others and be popular beetwen our friends. We get a self wealth, a lux house, a nice holiday, even a fund guarantee for our wife and children.
How matrealistic, isn't it?

Yes, it is possible to get them all

But success, especially is a freedom. Free by the problems, worry, fear, frustration, and free of failure, because the other word of success is win. Every people want to be the winner and every people wan to get the best things of their life. I think no one like poverty or misery. Everyone want to be happy, of course.

Maybe, we have ever heard people said that "
it is imposible if you think you can move the mount". Yeah, it is imposible indeed. It is imposible if we only said "Hey mount...move...move please!!!". It is imposible. We never be able to move the mount just with the dream. We never get a happiness in this life just with the dream. We never get what are we hope with just sleeping in our imajination and dreaming to get it.

It is right that dream has a big power to make us success, but dream without the real action only be a dream forever, never be a reality.
We can move the mount with a strong belief, with a good will, and with a real action. If there is a will, there is a way. Believe of ourself that we can do it and get success as soon as possible. There is a wise word said like this "You can if you think you can". Nothing is easy but nothing is imposible if we want to make it possible, if we want to make it be a reality.

Life and reality are a merger of what are we doing and what are happen in ourself. There are people can understand it, there are not. There are people sure to make a real action and there are not. I think, who are make a real action, they will be succes, who are not, will be lose.

(written in Pare when i was there to studying English)


Minggu, 08 Maret 2009

CoMMuniCatioN axioMaS

by_nashruddin qawiyurrijal'

Dalam ilmu komunikasi terdapat yang disebut dengan aksioma. Secara simpel aksioma dapat diartikan sebagai sebuah dalil yang tidak diragukan lagi kebenarannya.
Oleh karena ia sebuah dalil, maka aksioma itu menjadi ketentuan wajib bagi kita semua dalam setiap praktek komunikasi, dimanapun, kapanpun, dan bagaimanapun.

AKSIOMA KOMUNIKASI :
  • You can not not communicate
  • Always, there are message and relation beetwen communican and communicator in all communication process.
  • Communication progress in simetric and asimetric.
  • Communication process is irreversible (can not back) .
  • Communication process is an adjustment (proses penyesuaian).
  • Communication is a symbol (punctuation)
(studying matter by my lecturer, Prof. Hamidi,M.Si)

bE a ReaL maN'

by_nashruddin qawiyurrijal'

"i must be a creative man in a dynamic communication world"

Ya, dunia komunikasi semakin dan semakin dinamis. Teknologi komunikasi dan informasi beserta tetek bengeknya berubah, maju, dan berkembang kian hari. Handphone, internet, camera, video recorder, dan berbagai kemutakhiran teknologi telah mewarnai jagat raya kita kini. John Killinger, profesor homiletik pada Vanderbit Divinity School di Nashville, Tenesse berpendapat: “Dunia telah berubah menjadi desa dunia. Kita hidup dengan televisi, video tape, alat perekam, komputer, kamera, proyektor, mesin cetak, mesin fotocopy – segala perpanjangan mekanis dari diri manusia. Lebih dari yang lain …. alat-alat ini telah mengubah zaman dimana kita hidup.”

Dunia global dewasa ini adalah dunia yang dimiliki oleh manusia-manusia penguasa ilmu pengetahuan & teknologi (baca:teknologi komunikasi& informasi). Manusia-manusia yang memiliki expertise itulah yang kemudian akan menentukan kemana laju peradaban dunia ini selanjutnya berlabuh, sebab peradaban manusia sejak zaman batu, purbakala, sampai kepada zaman millenium dipicu dan diwarnai oleh perubahan/revolusi komunikasi. Dahulu, tentunya mahluk-mahluk (baca:manusia) purbakala sama sekali belum mengenal televisi, radio, phone, atau bahkan surat sekalipun-karena memang pada zaman itu tulisan belum ditemukan dan baru terlahir sekitar tahun 300 SM- yang padahal saat ini manusia-manusia modern justru menganggap itu sebagai sesuatu yang sudah usang.


Menilik perkembangan teknologi komunikasi informasi mutakhir di era kekinian, maka menjadi sebuah keharusan bagi kita-manusia- untuk ikut mendinamiskan diri di dalamnya. Proses pendinamisan diri kemudian menjadi semacam fardhu 'ain bagi kita ketika kita memang tidak ingin menjadi manusia yang "terseret". Wujud konkret dari pendinamisan diri itu misalnya berupa penguasaan atas teknologi yang dimaksud, pengkajian, penemuan, dan penciptaan teknologi-teknologi baru, dan atau mengembangkan wawasan keilmuan serta memperkaya khazanah intelektual sehingga tercipta titik ekuilibrium antara internal manusia dengan eksternal lingkungan dinamisnya.

Maka, tak salah bahkan justru menjadi sangat tepat kalimat yang tertera cerah mengawali tulisan ini bahwa "i must be a creative man in a dynamic communication world". Saya dan kita semua tentunya harus menjadi manusia-manusia tangguh yang kreatif dan cerdas di tengah dunia komunikasi yang semakin dinamis.

Let decide it..
The decision depend on u..
Be a REAL man, or still in your place now..