Sabtu, 10 Oktober 2009

REZIM-REZIM PENCITRAAN : Dari Kontra Revolusi, Subversif ke Terorisme

“Revolusi adalah harga mati..Kontra Revolusi, adalah pengkhianatan terhadap perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia
oooooOOOOooooo
Menentang pemerintah adalah subversif, siapa yang membangkang, tunggulah, ia akan mati terbujur di Nusakambangan.”
oooooOOOOooooo
Al-Qaidah, Jamaah Islamiah, Dr.Azhari, Noordin M.Top dan jaringan-jaringannya adalah teroris yang mengancam kedaulatan negara, harus dilenyapkan dari muka bumi ini.”

Begitulah kira-kira tiga petik kalimat yang mendeskripsikan “cap” (baca : julukan) dari negara kita kepada orang-orang yang dianggap mengacaukan stabilitas politik dan keamanan negeri ini. Kontra Revolusi pada masa orde lama, Subversif di orde baru, dan Teroris pada orde reformasi. Sebutan yang, jika ditilik hakikatnya, sesungguhnya setali tiga uang (serupa) , cuma saja zamannya berbeda.

Orde Lama dibawah kepemimpinan Bung Karno adalah masa dimana perlawanan rakyat untuk sepenuhnya lepas dari cengkraman kolonialisme tengah mencapai puncaknya. Bung Karno dengan kharismanya menghipnotis hampir seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama berjuang mencapai kemerdekaan 100%.

Soekarno bersama massa radikal progresifnya senantiasa menyerukan revolusi Indonesia; perubahan total pada fondasi negara. Jika kaum revolusioner adalah kaum yang menginginkan perubahan radikal dan fundamental dalam tata kehidupan masyarakat secara cepat, maka terdapat pula golongan-golongan yang sepertinya tidak sepakat dengan revolusi yang tengah digencarkan, mereka ini lah yang pada rezim itu dicap sebagai kontra-revolusi. Orang-orang yang tidak sejalan dengan cita-cita Soekarno untuk melakukan perubahan menyeluruh secara cepat (revolusi) di negeri ini. Pada masa itu setiap orang harus siap tidur di penjara jika dituduh kontra revolusi.

Revolusi 1945 dengan Soekarno sebagai Panglima Besar Revolusi akhirnya runtuh juga di tangan para kelompok kontra revolusioner, puncaknya adalah ‘kudeta’ Letjen. Soeharto melalui momen GKOS/PKI 1965 yang kemudian membawa Indonesia memasuki masa Orde Baru, yang tanpa ‘dengung revolusi’ sama sekali.

Orde Baru adalah rezim yang dibangun atas dasar rasa takut. Bila dilihat dari proses terbentuknya, Orde Baru disemai dari adanya persaingan antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Angkatan darat (AD) memperebutkan pengaruh politik nasional. Persaingan itu pula yang membuat mimpi besar Soekarno menyatukan kekuatan politik Nasionalis, Agama, dan Komunis (NASAKOM) menjadi kekuatan progresif-revolusioner membangun Indonesia raya menjadi gagal.

Penyebutan “yang baru” merupakan keinginan untuk mengkontraskan diri dari “Orde (yang) Lama.” “Yang lama” dipandang sebagai keadaan kacau di mana-mana akibat pertentangan politik dan ideologi, revolusi yang tak kunjung usai, serta ekonomi yang tidak membawa kemakmuran. Sedangkan “yang baru” menampilkan diri sebagai pembawa perubahan yang ingin membawa bangsa Indonesia kepada kemakmuran ekonomi dan kemajuan teknologi.

Jika orde yang lama, kelompok-kelompok penentang penguasa dilabeli julukan kontra revolusi, maka pada orde yang baru ini, subversive adalah senjata pembasmi untuk membungkam mereka yang membangkang. Subversive merupakan instrument ampuh pemerintah untuk menyerang lawan-lawan politik, pejuang pembebasan, penentang pemerintah, dan siapa saja yang dianggap dapat mengancam kelanggengan kekuasaan rezim.

Sebagaimana disebutkan diatas, orde baru adalah rezim yang disemai atas dasar rasa takut, terutama ketakutan pada kata ’revolusi’. Ketakutan pemerintah Orde Baru pada kata revolusi adalah ketakutan pada keadaan yang dipandang bakal mengancam kelanggengan kekuasaannya. Ketakutan itu diterjemahkan ke dalam kata “komunis” dan “kriminal”. Maka tak heran, setiap menghadapi individu atau kelompok yang ditengarai bakal menimbulkan kerisauan sosial, dengan serta merta dicap sebagai komunis atau kriminal.

Stigma komunis yang merupakan pelabelan penguasa kepada lawan-lawannya, seketika menjadi stigma social di masyarakat melalui propaganda-propaganda rezim. Mereka yang ‘berbau’ komunis serta merta akan dikenakan pasal-pasal subversive, dengan hukuman yang demikian berat.

Subversi, meskipun dengan pasal-pasal karet dan kekaburan makna, adalah kata yang paling sering muncul dalam wacana public di kala itu. Media massa sebagai alat propaganda adalah unsur yang paling berperan dalam mencitrakan dan melegitimasi kekuasaan, melalui pembangunan opini publiknya.

Pelabelan-pelabelan subversive oleh orde baru dilakukan tidak hanya pada lawan-lawan politik semata, bahkan wong cilik yang tak mengerti sedikit pun tentang negara, turut pula terjerat. Pemalsuan pestisida oleh seorang Ibu di Bandung dan pemalsuan kupon hadiah oleh seorang cukong eceran, juga dianggap tindakan subversive. Selain itu penyebaran roman tetralogi Pramoedya Anantatoer, turut pula dijerat pasal-pasal subversive, pelaku huru-hara kasus Tanjung Priuk, peledakan bank BCA, demonstrasi mahasiswa ITB 5 Agustus 1989, dan lain sebagainya, adalah contoh-contoh penggunaan UU Subversif yang ‘sak karepe dewe’.

Apa yang dilakukan oleh Orde Baru itu tak lepas dari upayanya mempertahankan kekuasaan. Bila mengikuti perspektif Foucault, maka upaya itu dilakukan melalui pewacanaan dan pencitraan secara terus-menerus, sehingga apa yang diopinikan dipandang sebagai bentuk kebenaran.

Kondisi yang tak jauh berbeda, tejadi pula di era reformasi ini. Pasca penyerangan Gedung Pentagon di Washington, AS, 11 September 2001, terorisme menjadi wacana yang paling ‘menarik’ dan paling sering di-blow up- oleh media massa dalam dan luar negeri. Terlebih setelah tragedy Bom Bali 1 & 2, negeri ini seakan sangat akrab dengan terorisme.

Terorisme, melalui perjalanan panjang pergeseran maknanya, kini banyak diasosasikan dengan gerakan-gerakan ekstremis umat Islam. Jaringan Al-Qaidah dalam lingkup internasional, dan jaringan Jamaah Islamiah dalam lingkup Indonesia, adalah kelompok-kelompok muslim yang dituduh ‘gembong teroris’.Namun, banyak pihak yang kemudian menganggap bahwa kata terorisme, hingga kini belum memiliki batasan-batasan yang jelas. Sama dengan subversive pada masa orde baru yang sangat luas, sehingga tindakan kecil yang tidak membahayakan negara pun dianggap subversi, terorisme belum memiliki konseptualisasi yang jelas dan jernih.

Konseptualisasi mengenai konsep dan definisi terorisme boleh jadi juga merupakan sumbangan dari media massa. Media massa ‘berkewajiban’ mengkomunikasikan fenomena kompleks itu dalam satu ruang sempit berupa kolom-kolom sempit surat kabar atau waktu tayang televisi, sehingga tanpa disadari media massa melabeli berbagai macam tindakan kekerasan dengan sebutan ‘terorisme.

Terlepas dari kekaburan konsep terorisme itu, telah menjadi opini public bahwa terorisme di Indonesia dan Internasional adalah berasal dari kaum muslim, seperti halnya pada masa orde baru, tindakan-tindakan subversive diasosiasikan kepada komunisme.

Tulisan ini mengajak kita melakukan eksplorasi lebih dalam terkait realita-realita pencitraan itu. Bagaimana dan mengapa, penguasa rezim cendrung melabeli golongan-golongan tertentu dengan pencitraan-pencitraan negatif ; kontra revolusi, subversi, dan terorisme itu??? Apakah ketiga ‘label’ itu sesungguhnya hanyalah semacam alat semantic kekuasaan oleh para penguasa untuk mengamankan pemerintahannya dari kelompok anti-pemerintah???. Menjadi tugas kita bersama untuk mengkaji fenomena tersebut lebih dalam lagi.

Sebuah pernyataan keraguan dari Noam Chomsky, mungkin cukup untuk menjadi landasan pengkajian kita terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas. Chomsky mencoba menunjukkan bagaimana sebuah peristiwa yang sama dapat dimaknai secara berbeda, dengan menyitir sebuah percakapan bajak laut dan armada pasukan laut di abad pertengahan. Alkisah suatu ketika sang bajak laut dapat ditangkap oleh armada pasukan laut. Bajak laut yang tertangkap, ngotot tidak mau ditangkap oleh armada. Ini yanga dikatakannya : “ Mengapa saya yang kecil disebut perampok, sementara Anda yang mengambil upeti dalam jumlah besar disebut Pahlawan?

“ Pemerintahan yang otoriter memang cenderung memelihara rasa takut di tengah masyarakat. Upayanya antara lain melalui pencitraan dan pelabelan terhadap gerakan, aktivitas atau golongan tertentu”. Hipotesa tersebut boleh jadi merupakan kesimpulan atas pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan.

Mari kita diskusikan lebih lanjut…


by_nashruddin qawiyurrijal

*tulisan ini disampaikan pada Diskusi Rutin Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa/Pelajar Indonesia Sulawesi Selatan (IKAMI SULSEL) Cabang Malang,14 Agustus 2009