Senin, 17 Agustus 2009

DAN LANGIT PUN MENANGIS

Kala tulisan ini kutorehkan, langit kota Malang tengah meneteskan air mata. Hujan itu baru saja turun. Tak begitu deras, tak begitu rintik. Tapi hujan itu (sepertinya) menitikkan rona kepedihan, meneteskan keresahan, terlihat ungkapan kesedihan olehku.

Mungkinkah tangis itu, bentuk duka Sang Langit untuk bangsa ini?, bangsa yang besar, yang tak kunjung menyegarkan benih-benih generasinya?, seperti Sang Hujan yang selalu mampu menyegarkan benih-benih hijaunya di bumi, menyuburkan mereka.

Ironis memang, pekik merdeka yang selalu kita teriakkan selama 64 tahun lamanya, tak kunjung menjadikan kita merdeka. Ketika kita menyebutkan kata kemedekaan, maka seharusnya kata kesejahteraan pun turut kita sebutkan. Ketika kemerdekaan kita peroleh, maka tentunya kesejahteraan pun demikian, apatah lagi 64 tahun sudah waktu kita berbuat untuk itu.

Kemerdekaan dan kesejahteraan, mestinya berbanding lurus dalam realitas. Bagiku, ia bukanlah friksi yang dikotomis. Karena ia, kemerdekaan dan kesejahteraan sesungguhnya dua kata yang tak cocok dipisahkan, ia mesti disandingkan. Kalau kita merdeka, maka kita sejahtera.

Hari ini, dengan membuka mata hati, kita tentu akan jujur berkata ; “ Kita belum sejahtera”. Ya, kesejahteraan itu belum direngkuh. Kita punya banyak harta. Kita punya banyak masa, 64 tahun. Kita punya banyak asa. Kita punya banyak kata ‘merdeka’.

Tapi, kemana harta itu?
Tapi kemana masa itu?
Tapi kemana asa itu?
Tapi kemana kata ‘merdeka’ itu?

Dan, langit pun menangis
Menorehkan rona kepedihan,
Menghapus kata ‘merdeka’ yang telah kita lukis 64 tahun lamanya
Karena ternyata lukisan kita adalah lukisan yang memakai tinta-tinta palsu..
Tinta-tinta palsu yang kita goreskan di kanvas yang palsu pula..

Dan,,
Langit pun Menangis..
Kemerdekaan tanpa kesejahteraan..

0 komentar:

Posting Komentar

Give Me Comment Please!!
i need your comment to be better..