Sabtu, 04 April 2009

MUSIK SEBAGAI MEDIA PERLAWANAN "catatan singkat seorang demonstran"

Hidup Mahasiswa..
Hidup Mahasiswa..
Hidup Rakyat..


Pekikan kata-kata penuh gelora itu sungguh sangat akrab di telinga ku, tentu juga di telinga kawan-kawan dan tentu pula di telinga masyarakat Indonesia, sejak zaman Malari (Malapetaka 15 Januari 1974), Reformasi (1998), bahkan hingga kini meskipun kedengarannya kian redup oleh semakin surutnya ghirah "perjuangan" mahasiswa Indonesia di tengah dunia globalisasi yang menggila ini.

Sebagai seorang demonstran di lorong-lorong jalanan sempit nan padat kota Malang, aku paham betul bahwa pekikan-pekikan kata perlawanan sungguh lah membakar semangat dalam diri, yang menjadikan kita "para agent of chance" memiliki semangat pantang mundur bak api yang terus berkobar-kobar, bukan semangat cacing yang takut pada sinar mentari. Pun begitu dengan bait-bait lagu "pergerakan" yang aku yakini selalu dapat memberi spirit tersendiri dalam perjuangan di "jalanan", menantang teriknya surya, laras, pentungan, bahkan senapan aparat demi sebuah kata "LAWAN".

Coba kawan cermati bait per bait Lagu berikut.
Hayati dan bawa diri kalian laksana berada di jalanan berdebu, di tengah kerumunan massa progresif yang diselingi pekikan-pekikan perlawanan.."Hidup Mahasiswa..Hidup Rakyat"

di sini negeri kami
tempat padi terhampar
samuderanya kaya raya
negeri kami subur Tuhan..

di negeri permai ini
berjuta rakyat bersimbah luka
anak buruh tak sekolah
pemuda desa tak kerja

mereka dirampas haknya
tergusur dan lapar
BUNDA relakan darah juang kami
tuk membebaskan rakyat..

mereka dirampas haknya
tergusur dan lapar
BUNDA relakan darah juang kami
padamu kami berjanji..
padamu kami berjanji..

Sungguh kalimat-kalimat emphaty dan penyadaran dari lagu Darah Juang tersebut begitu mampu membakar rasa takut pada apa pun dengan bahan bakar keringat dan lecutan korek api terik mentari. Membuyarkan segala ketakutan pada ancaman anjing-anjing negara dan menumbuhkan gairah perlawanan terhadap ketertindasan anak negeri.

Setidaknya keyakinan akan sukma sebuah musik (lagu) berpekik perlawanan tak lahir tiba-tiba hanya dengan menatap aksi massa mahasiswa dan rakyat dari layar televisi berukuran 21 inch yang sangat hyper reality itu, tapi datang dari sedikitnya belasan kali menggumulkan diri di aksi massa sektor mahasiswa, buruh,tani,dan kaum miskin kota Malang, yang harus diakui masih sangat 'lunak' dalam hal progresifitas gerakan dibandingkan kota-kota lain di Indonesia dengan kuantitas dan kualitas perlawanan yang lebih bombastis ; Makassar, Yogyakarta, Jakarta.

Atau kawan cermati lirik-lirik berikut,,

Buruh..Tani..Mahasiswa..Rakyat Miskin Kota
bersatu padu rebut demokrasi
gegap gempita dalam satu swara
demi tugas suci yang mulia

hari-hari esok adalah milik kita
terbebasnya masyarakat pekerja
terciptanya tatanan masyarakat
demokrasi sepenuhnya

di bawah topi jerami
ku susuri garis matahari
berjuta kali turun aksi
bagiku sebuah langkah pasti

di bawah kuasa tirani
ku susuri garis revolusi
bersama buruh dan petani
kita tuntaskan revolusi..

Tak dapat ditampik, musik (meski hanya diiringi riuh tepuk tangan) berisi bait-bait perjuangan adalah media perlawanan yang akan selalu berjalan beriringan dengan pekikan-pekikan revolusi dari mulut dan qalbu para pemuda negeri yang gandrung akan perubahan. Musik sebagai media perlawanan adalah sesuatu yang pasti dan semestinya.

Mungkin kawan takkan merasakan apa yang aku rasakan sehingga menganggap lirik-lirik lagu di atas hanya lah sebuah kumpulan kata-kata idealis "kiri" yang tahunya cuma selalu protes dan menuntut,,tapi tatkala kawan terjun langsung di belantara perlawanan rakyat, kawan akan tahu sendiri betapa dahsyatnya efektivitas musik progresif dalam membentuk mental api seorang pejuang.

Jika, masih ada dan mungkin masih sangat banyak mahasiswa yang belum merasakan teriknya mentari di jalan aspal berdebu dengan ancaman laras, pentungan, dan senapan aparat, maka aku menganggap "kemahasiswaan" itu belum lah lengkap.

Tilik lah sejarah..
Wiji Thukul 'sang pejuang reformasi', mahasiswa dengan progresifitas tinggi yang harus diculik oleh budak-budak rezim karena mereka takut akan gelora semangat seorang Wiji,,

Atau Pramoedya Anantatoer 'sang sastrawan sejati' yang sungguh berharap generasi muda sekarang akan menghancurkan orde baru, hingga ke akar-akarnya, ke begundal-begundalnya yang paling rendah sekalipun.

Pun juga, 4 mahasiswa Trisakti 'pahlawan reformasi' yang meregang nyawa dalam gelora perlawanan..hanya demi membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan pemerintah negeri sendiri "Soeharto"..

Serta beragam tauladan-tauladan jalanan lain yang sungguh mulya, meskipun mungkin sebagian orang menganggap mereka mati sia-sia tetapi 'yang berkata begitu' mereka itulah yang kami sebut "anjing-anjing negara".."budak-budak kapitalisme".."penjilat-penjilat darah rakyat".

Silahkan kawan rasakan sendiri..sejauh mana daya dobrak sebuah musik sebagai media perlawanan rakyat..
Tanyakan pada singa-singa jalanan yang kawan kenal..

Hanya ada satu kata kawan "LAWAN"

1 komentar:

Posting Komentar

Give Me Comment Please!!
i need your comment to be better..